Sinar fajar subuh mulai menyingsing menyapa pagi , lantunan suara merdu terdengar dari surau kecil, membangunkan setiap insan dari senyap malam yang menyelimuti. Terlihat berbondong bondong orang beramai menuju titik pusat suara merdu tersebut tuk memenuhi panggilan ilahi. Ku titihkan langkah setapak demi setapak walau mata kantuk memaksa tuk tetap terbuka, menelusuri jalan entah kemana akan berhenti, mengikuti arus langkah yang akan membawa diri jauh dari dipan kecil yang menemani dinginya malam tadi.
Sampailah kaki ini pada tempat yang tak asing bagiku dan umat muslim lainnya, dimana seseorang mencurahkan segala isi hati dan meminta ampun pada sang Khalik. Pandangan ini tak luput satupun dari berbagai jenis objek disekeliling. Oh tuhan akankah ku berada di sini tuk beberapa tahun kedepan batinku dalam hati. Lamunan dan fantasi terpecahkan dengan kedatangan seseorang yang tak disangka telah lama mengamati tingkah anehku sedari tadi yang hanya diam mematung bagai orang asing tersesat dalam hutan dan tak tahu arah tujuan.
Dengan senyuman dan sapaan yang lembut dari mulut mungil seorang wanita yang kiranya sebaya denganku mengajak masuk ke surau kecil itu untuk menunaikan kewajiban. sungguh air mata ini tak hentinya menetes, butiran demi butiran membasahi sebagian mukenah putih berhiaskan renda bunga melati. Seluruh isi hati tercurahkan pada sang Khalik, entah perasaan apa yang ada di benak ini telah tercampur menjadi satu. Kecewa, marah, sedih dan penyesalan hanya itu dalam fikiran. Apa salahku hingga orang yang selalu kupercayai dan kusayangi memasukkanku dalam penjara suci ini. Tak dapat banyak berbuat hanya ikhlas dan ketegaran yang harus ada dalam diri tuk meneruskan kehidupan disini.
“Ikhlas membuat kita menjadi tegar, kuat, dan berprinsip. Kita tidak dijajah oleh dunia dan keduniaan. Tak semua yang kita inginkan baik untuk kita, bisa jadi sesuatu tidak kita sukai menjadi terbaik untuk kita. Hanya Allah yang tau mana yang terbaik. Di atas kita hanya Allah, di bawah kita hanya tanah. Kita merdeka dari dunia dan keduniaan”. Kalimat singkat namun terdengar jelas dalam telinga mengarah dari seseorang di atas mimbar yang berceramah dan membuat berfikir tuk mencerna setiap katanya.
Hujan pagi ini menandakan betapa perih hatiku, keganjalan yang sungguh tak bisa hilang dari benak hati yang paling dalam. Mata kian lelah, lembab, sayu seusai mengeluarkan tetesan demi tetesan air yang tak hentinya jatuh membasahi kedua pipi. Sungguh malang nasib ini, tak dapat apa yang ku inginkan hanya penyesalan yang tersisa. Tak ada lagi senyuman yang membuat ketenangan dan sekarang kian berubah, tinggallah kebencian yang ada dalam fikiran, mata dan hati.
Kumulai langkah ini dengan lemberan dan teman baru walau rintikan hujan masih tersisa di dedaunan dan bekas luka masih membekas. “Ayo cepat sisi...!!”aku pun terkejut ketika mereka menarik tanganku dan berlari dengan cepatnya bagai serigala yang siap menerka mangsa. “Ada apa ini? Kenapa harus berlari?” tanyaku pada mereka. “Kita sudah hampir terlambat, jika itu terjadi, bersiaplah kita menerima ceramahan dan omelan pagi ini” Jawab salah seorang. Untunglah ku sampai tepat pada waktunya. Mereka menyambut dengan ramah dan lembut walaupun mereka baru mengenalku pagi ini. Ku dengarkan cerita yang dengan asyiknya dan bangganya mereka ceritakan semua suasana kehidupan, pengalaman, sistem pembelajaran, bangunan bangunan di kampus pesantren padaku walaupun tak sepenuhnya ku respon dengan baik.
Hanya diam mencerna sekeliling dengan kebingungan. Apa yang mereka katakan tak satupun dapat di mengerti, bahasa asing terucap di sekeliling yang tak pernah terdengar sekalipun olehku. Tak selang beberapa menit kemudian semua suasana berubah dari keributan menjadi hening. Terdengar suara langkah seseorang hendak memasuki ruangan yang tak lain dosen hari ini dengan buku di tangannya yang siap memulai materinya dan mempersilahkanku tuk memperkenalkan diri. Sisilia Sinta namaku kerap disapa sisi dan kululusan SMA N 1 Taruna. Ku duduki kursi nomor dua dari belakang setelah memperkenalkan diri. “Kenapa sisi? Sepertinya kamu sakit, wajah mu terlihat pucat.” tanya seseorang di sebelah ku yang kerap di panggil raina. “Tidak, aku tak sakit, aku hanya bingung dengan semua percakapan kalian. Aku tak mengerti bahasa apa yang mereka gunakan.” Dengan senyumannya ia menjelaskan padaku bahwa di kampus pesantren ini memeng menggunakan bahasa arab dan bahasa inggris sebagai bahasa sehari hari dan untuk skripsi nantinya. Aku pun amat terkejut dengan penjelasannya. Kenapa semua ini bisa terjadi. Tak sedikitpun kumengerti bahasa arab apalagi untuk skripsi nanti, batinku dalam hati. Raina membuyarkan lamunanku dan ia mengatakan akan mengajariku sampai ku bisa. Dan mulai hari itu ia menjadi teman yang selalu ada untukku. Ia tahu bahwa aku tak pernah menginginkan bersekeloh disini. Dengan sabar ia selalu membantu dan memotivasiku.
Banyak orang bertitel, tapi tidak berkualitas. Dan banyak orang yang berkualitas, walaupun tidak bertitel. Banyak orang berfikir bagaimana hidup yang baik, tetapi mereka lupa bagaimana mati yang baik. Nasehat raina itu selalu terngiang dalam fikiran walau ku ingin mengabaikan dan melupakannya namun selalu saja teringat. Seperti ada mantra pada nasehat tersebut yang mana ia dapatkan nasehat itu dari guru di pondoknya dulu saat ia masih bersekolah.
Rasa lelah kurasakan setiap hari mulai bangun pagi yang biasanya tak pernah kulakukan di rumah hingga malam menjelang tidur kembali. Semua kegiatan dan peraturan tak ada henti walau hanya sehari. Selalu kata ikhlas dan kerjakan sepenuh hati yang terucap dari mulut raina ketika ku mulai mengeluh dan putus asa. Namun sampai kapan harus ikhlas dengan semua ini bentakku padanya. Aku sudah lelah dengan semuanya mulai dari bahasa yang sulit di pahami, kegiatan dan peraturan yang tak ada hentinya harus di taati. Raina hanya diam mendengarkan segala amarah dan memelukku untuk menenangkanku. Aku memmberontak melepaskan pelukannya dan berlari menjauh. Aku marah dan kesal dengan semua ini, ku banting dan ku lempar semua barang di sekeliling.
Bisikan setan mampu mengalahkan iman pada diri yang kosong ini. Ku tinggalkan kampus sebelum subuh menjelang. Menikmati kehidupan bebas tanpa memikirkan apa yang akan terjadi nanti, menelusuri jalan raya alun alun semarang dengan hati yang tak bisa terbayang betapa senangnya tuk menyembuhkan kepenatan dan kelelahan akan segala kegiatan dan peraturan kampus. Ku kunjungi setiap tempat yang dapat membuat senang hingga melupakan waktu yang ternyata telah menunjukkan tengah malam.
Langkahpun terhenti tepat ketika melihat sesosok pria berbadan besar, berkulit hitam, rambut ikal yang berantakan seakan tak pernah di keramas sebulan. Bukan itu saja yang membuat terkejut namun botol minuman keras di tangan kirinya dan pisau yang kurang lebih lumayan panjang mengkilat yang tak bisa ku hindari dari pandangan. Tak tau apa yang akan ia perbuat namun langkahnya semakin mendekat dengan muka yang di penuhi amarah seakan ingin menusukku jika ku tak mengikuti keinginanya.
Secepat mungkin kuberlari kukerahkan semua tenaga yang kupunya tuk menghindarinya, namu pria itu tetap mengejar. Bagaimana ini apa yang harus kulakukan semua fikiran menjadi kacau. Isak tangis tak henti hentinya mengikuti ritme detak jantung yang terhuyung huyung dalam larian. Benturan kepala pada sebuah benda yang sangat keras mulai terasa. Kini ku seakan terlempar jauh melayang dan rasa nyeri mulai muncul di kepala dan tubuhku. Mata ini sudah tak sanggup lagi tuk membuka dan kini hanya terlihat samar samar sebelum mataku tertutup sepenuhnya.
Pusing kepala yang kurasa ketika perlahan mata terbuka. Arah pandangan tertuju pada sekeliling dengan bau obat yang sangat tajam menyengatdi hidung seakan memenuhi ruangan. Terlihat infus telah tersuntik pada tangan dan perban membalut melingkar di kepala. Aku bingung apa yang terjadi. Telah berdiri seorang pria paruh baya menanyakan keadaan dan rumahku. Dia menjelaskan bagaimana diriku bisa terkapar di rumah sakit karena tertabrak mobilnya. Aku bingung harus menjawab apa. Tak mungkin memberi tahu keluarga yang pasti akan tambah memperumit masalah. Semua ini salahku. Dan aku harus bertanggung jawab dengan semuanya. Kuberanikan diri untuk menelfon kampus dan memberitahu keadaan sebenarnya. Aku siap menerima resiko dan hukuman yang didapat nantinya.
Butuh empat sampai lima jam kedatangan bagian pengurus kampus menemuiku dan menyelesaikan segala urusan. Setiba di kampus semua orang menyambut, memeluk, dan terlihat rasa khawatir di wajahnya. Kini tibalah waktu hukuman diberikan padaku. Ku terima semua itu dengan ikhlas. Namun mengapa melibatkan teman temanku yang tak bersalah dalam hukuman. Ini semua salahku rengekku pada pengurus kampus. Hanya karena mereka tak memperingatkanku saat ku lengah. Akhirnya ku harus menjalankan hukuman bersama, meski terdapat rasa bersalah pada mereka akan tindakan ceroboh yang kulakukan. Mereka tak membenciku namun sebaliknya mereka sangat bersimpati dan memotivasiku padahal akulah penyebab hukuman itu di berikan pada mereka. Mulai saat itu ku sadar tak ada rasa sendiri dalam hati masih banyak orang menyayangiku.
Dengan tekad yang ikhlas dan sepenuh hati menjalani hidup di sini. Semua terasa nyaman. Ku yakin Allah pasti mempunyai rencan baik bagi setiap hambanya. Hari demi hari kulalui dengan senyuman. Hingga akhirnya terselesailah sudah sarjanaku dengan nilai cukup memuaskan.
Dan saat ini pun susana masih sama, Kini ku benar-benar merindukan suasana itu. Suasana yang tak lagi kutemukan sekarang. Suasana yang damai menciptakan ketenangan bagi penghuninya, udara yang segar nan sejuk, dan pemandangan asri mengingatkanku akan sepuluh tahun lalu. Amat terasa sekali manfaat ilmu duniawi dan ukhrawi di kampus pesantren. Bagaimana belajar ikhlas, berbagi suka dan duka dengan sesama. Meskipun tidak terlalu banyak ilmu agama yang ku dapatkan namun cukup untuk membentengi iman dari berbagai gaodaan di luar sekarang.
Tanpa sadar air mata ini mengalir membasahi pipi. Aku mengerti akan semua pelajaran hidup yang pernah kulalui disini. Di saat tak mengerti apa sebenarnya kehidupan. Di kampus pesantren inilah semua itu ada. Pengorbanan, kebersamaan keikhlasan, kedamaian hanya akan di dapat di sini.
Terima kasih ayah bunda karena kau memberikan apa yang sebenarnya ku butuhkan di masa depan bukan apa yang kuinginkan semata. Dimana pendidikan adalah pelajaran, penugasan, pelatihan, pembiasaan, pengawalan & uswatun hasanah. Dan kusadari bahwa adanya peraturan untuk membentuk pribadi seseorang. Kita itu kuat dan besar yang membuat kita lemah dan takut diri kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar