Amanat
Terindah
Senyuman
indah menyambut pagi. Tak dapat menerka nerka apa yang akan terjadi hari esok.
Menjalani hidup dengan penuh harap keberuntungan selalu ada dalam keseharian.
Kududuki bangku taman dengan fikiran kosong menatap langit. Apakah keputusan
yang kuambil telah tepat bagi masa depan nanti.
Kumasuki
area yang sungguh asing. Jika bukan karena amanat ayah tak usahlah kaki ini
harus lelah menyusuri tempat yang tak pernah kupijak sama sekali. Aku berharap
ayah disana akan bangga padaku. Maaf ayah karena selama ini tak pernah
sedikitpun patuh padamu. Hanya kebencian yang ada dalam fikiran walau pada hakikatnya semua itu kau lakukan untuk
melindungi dan mendewasakan diri. Aku marah dengan semua yang kau lakukan, tak
pernah sedikitpun menghiraukanku. Diri ini merasa haus akan kasih sayangmu yang
tak pernah terasakan sedari kecil dan sekarang barulah tersadar betapa dalam
kasihmu terhadapku.
Setiap
nasehat yang kau berikan adalah motivasi terbesar dalam hidup. Setiap amarah
yang kau lakukan semua demi melindungi diri dari segala ancaman yang akan
merusak masa depan. Sekarang semua tinggalah penyesalan, hanya satu yang dapat
kulakukan untukmu yaitu mendo’akan agar tenang di alam sana. Amanat yang kau
berikan saat perpisahan terakhir akan selalu kuingat dan sebisa mungkin akan
kuwujudkan. Hanya itu yang bisa kuberikan padamu.
Suaramu selalu terngiang di telinga
ketika memarahiku akan ulah yang membuat kesal dan khawatir keadaanku.
Rengekanku tak pernah kau hiraukan seakan semua di matamu dapat kulakukan tanpa
bantuan. Kau ajarkan kemandirian dan pantang menyerah dalam jiwa. Aqidah dan
tauhid selalu kau tanamkan dalam diri untuk membentengi iman yang terkadang
bertambah dan berkurang.
Tak ragu teguran keras menerpaku
akan segala kesalahan sengaja atau tak sengaja kuperbuat, hanya isak tangis yang
bisa keluar dari mulut. Semua kenangan pahit yang akan berbuah manis selalu
teringat di setiap langkah hidup yang akan kutuju. Berharap restumu selalu
mendampingi tuk melaksanakan keputusan yang telah kuperbuat ini. Bukti kasih
sayang yang tak akan pernah hilang hingga kita dipertemukan kembali pada waktu
yang telah ditentukan sang penguasa alam.
Pandangan selalu tertuju pada
jalananan terbentang luas di hiasi tanaman hijau di sepanjang tepi. Jarak
perjalana terasa amat singkat seakan baru beberapa menit lalu keberangkatan
dari rumah tercinta. Tibalah di tempat yang kuajukan sendiri pada bunda.
Bangunan kecil sederhana berderetan namun terlihat banyak penghuni di dalamnya.
Walau terlihat sesak namu raut wajah mereka seakan bahagia dan damai di
dalamnya. Dimana akan menjadi tempat tinggalku mulai hari ini.
Meskipun rasa sedih akan perpisahan
dengan bunda yang tak hentinya sedari tadi menangis dan memelukku di sepanjang
perjalanan. Kini saatnya bunda harus merelakanku berjuang mencari ilmu di jalan
Allah seperti amanat ayah padaku sebelum kepergiannya. Tak sanggup rasanya
melihat tangisan bunda yang tak ingin perpisahan ini terjadi. Namun harus
kulakukan demi mewujudkan masa depan. Aku tahu bunda tidak setuju dengan
keputusan yang kubuat tapi aku yakin inilah yang terbaik.
Isak tangis bunda saat pergi
meninggalkanku sendiri di asrama baru sempat menggoyahkan tujuan utama namun ku
teringat amanat terakhir ayah yang harus segera terlaksana. Lingkungan,
pengalaman, tujuan dan teman baru akan terukir dalam lembar harian yang akan selalu
menemani perjalan hingga terselesaikan pendidikan disini.
Seribu pertanyaan tersimpan dalam
hati disaat menjalani kehidupan baru. Terlihat aneh semua di mata. Tak mengerti
apa yang harus pertama kali dimulai, semua kulakukan dengan seiringnya waktu
berharap segera terselesaikan pendidikan asrama pesantren ini. Mungkin memang
sedikit pengetahuan agamaku hingga merasa sulit memahami dan menjalani segala
aktivitas berbau agamis disini. Ingin rasanya menangis dengan keadaan karena
seakan kuterlihat bodoh diantara yang lain.
Hal sekecil mengaji saja ku tak
begitu lancar hanya sempat teringat sedikit apa yang diajarkan ayah, itupun
sudah banyak yang terlupakan. Sempat ingin memberontak dan menyerah namun
apalah daya semua terjadi dengan keputusan yang kuambil sendiri. Kuperbaruhi
niat dan mengkuatkan tekad kembali, membuang segala keputus asaan dan keyakinan
akan menempuh hasil memuaskan. Berusaha sedikit demi sedikit walau kadang rasa malas
menyelimuti. Tak sedikit orang memotivasiku tuk tetap berjihad fi sabilillah di
asrama pesantren ini tapi hampir keseluruhan penghuni asrama membantu setiap
kesulitan yang kualami. Mereka anggap sesama muslim saudara satu sama lain yang
tak boleh putus ikatan silaturahmi.
Setiap malam ku panjatkan do’a dan
ku curahkan segala isi hati dalam tahajjudku. Meminta ampun dan petunjuk pada
sang kuasa. Hari demi hari kulalui semua kehidupan disini dengan ikhlas dan tawakkal.
Hilang semua rasa sedih dan penyesalan karena ku yakin masih banyak orang
sekitar yang menyayangi dan memberi
semangat padaku.
Tak terasa seiringnya waktu tibalah
hari kelulusan seperti singkat hidup bersama mereka di asrama penuh keberkahan
dan pengorbanan ini. Disisi lain hatiku senang tak terbayangkan, sudah bertahun
lamanya tak berjumpa dengan bunda demi
menuntut ilmu disini. Aku rindu bunda dan pastinya demikian pula yang dirasakan
bunda. Bergegas kutelfon bunda dan memberinya kabar hari kelulusanku yang akan
diumumkan besok. Terdengar serak suara bunda hampir menagis ketika ia tahu hari
kelulusanku. Ia berjanji akan segera datang dan menyaksikan pengumuman itu. Rasa senang
bunda terdengar jelas dalam telfon yang tak ingin mengakhiri percakapan
diantara kita. Menanyakan keadaan hingga makanan kesukaanku yang akan di
bawakannya esok.
Sudah lama aku menunggu kesempatan
ini. Andai ayah tahu putrinya akan lulus dari asrama pesantren seperti keinginanya
pasti ia bangga dan memeluk erat diriku. Tak ingin rasanya kulepas pelukannya
yang selama ini tak pernah ku rasakan. Namun walaupun itu tak akan pernah
terjadi, aku percaya pasti ayah bangga melihatku seperti ini dari tempat yang
jauh disana. Tak sabar rasanya menunggu hari esok, matapun tak ingin terpejam
menantikan detik detik terakhir hari kelulusan datang.
Hari yang dinantikanpun tiba kusambut
pagi dengan senyuman rasa senang mewarnai hati. Kulangkahkan kaki ini pada
gedung pertemuan yang telah di hiasi berbagai tanaman tuk memperindah ruangan.
Namun mata tak dapat menemukan apa yang di cari. Dimana bunda batinku dalam
hati. Tak seperti biasanya bunda terlambat, apalagi di hari yang sangat
istimewa seperti ini yang sudah lama ku impikan. Ingin melepas rindu pada bunda
yang selama ini sudah lama tak berjumpa.
Hingga
detik terakhir kelulusanku terpanggil tak kudapati bunda yang dinantikan. Nilai
memuaskan kudapatkan tapi disisi lain kekecewaan melanda dengan ketidak hadiranya
disini. Ku amat kesal dengannya karena telah mengingkari janji yang telah diucapkan. Aku tak tahu apa yang terjadi
padanya tak seperti biasa bunda seperti ini. Fikiran kotor memasuki otakku apakah bunda telah berubah dan mengabaikanku. Semua fikiranku
kacau dan selalu bertanya tanya akan semua hal yang terjadi hari ini.
Rasa
sedih menghantui tak ujung habisnya hingga tak sadar pengasuh asrama sedari
tadi memanggilku untuk pergi ke kantor. Akhirnya kuturuti dan ia menjelaskan
bahwa orangtuaku tak dapat menjemput, dikarenakan urusan penting yang tidak
dapat ditinggalkan. Bunda menitipkanku pada mereka untuk mengantar pulang ke
rumah jelasnya.
Dengan penuh kekecewaan kukemasi
baju dan barang barang bersiap meninggalkan asrama tercinta. Tak ada satu kata
terucap dari bibir selama perjalanan hanya diam seribu bahasa dalam fikiran
yang tak karuan. Seolah bagai orang yang tercampakkan tak ada artinya lagi.
Terdiam kusesaat ketika berdiri tak
jauh dari halaman rumah. Entah mengapa mata ini tak ingin menemukan benda
tersebut namun tak bisa dipungkiri benda itu terlihat jelas terpasang di depan
pagar rumah. Melambai lambai bendera kuning seakan menyuruh tuk cepat masuk ke
dalamya. Fikiran mulai kacau, firasat buruk mulai muncul, kegelisahan di hati
tak ujung usai.
Dengan langkah tergesa berlari
memasuki rumah, menerobos kerumunan yang menghalangi jalan tuk sampai tujuan.
Tak dapat tertahan air mata jatuh menetes dan tak dapat disanggah teriakan
keras dan raungan keluar dari mulut, seakan hati telah tersakiti begitu dalam. Dengan
tangan bergemetar, perlahan kubuka kain putih yang menutupi wajah seseorang. Terdapat
sosok yang tak asing bagiku telah terkapar tak bernafas adalah bundaku sendiri.
Tak kuat rasanya menopang seluruh fikiran, hati dan tubuh ini hingga akhirnya
terjatuh lemas tak sadarkan diri.
Kubuka mata perlahan walau rasa
pusing terasa amat menyakitkan. Berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi. Semua
orang menangis di ruangan itu dan paman yang selalu disisiku telah bersiaga
dengan apa yang akan terjadi padaku. Sakit hati mendalam tak dapat diungkapkan
ketika hanya bisa melihat wajah bunda tersayang pucat tak bernyawa lagi. Siapa
yang harus kusalahkan dengan semua ini setelah kudengar penjelasan paman akan kematian
bunda ketika perjalanan menemuiku di asrama pesantren pagi tadi. Kecelakaan maut yang merenggut nyawanya di tempat sekatika tak
dapat terbayangkan hanya penyesalan yang tersisa.
Terakhir kali ku lihat wajah bunda
masih tersenyum walau tak bernafas. Hari ini adalah hari yang benar benar
menyakitkan bagiku. Tak ingin rasanya semua ini terjadi. Namun ku harus ikhlas
menjalini walau tak ada ayah dan bunda lagi. Hanya do’a yang dapat kuberi pada
mereka agar tenang bersama Allah disana.
Kini kumengerti arti amanat ayah sebelum
kepergiannya, menginginkanku menuntut ilmu di asrama pesantren. Untuk mengerti
ilmu agama, bukan hanya ilmu duniawi saja. Dimana akan tertanam dalam jiwa sebuah
aqidah dan tauhid yang membentengi iman. Terimakasih ayah bunda kau mengajariku
arti kehidupan sesungguhnya
Hari mulai berlalu, kesedihan
menghilang secara perlahan walau masih membekas dan tak akan pernah bisa
terhapus. Melalui hidup dengan kesendirian amatlah sulit namun bagaimanapun
harus tetap bertahan. Allah pasti akan memberikan yang terbaik dan tidak akan
menguji seorang hamba melampau batas kemampuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar