Sabtu, 15 April 2017

Perkembangan Pemerintahan Dalam Sertifikasi Kehalalan Obat



Telah terbukti bahwasanya kesehatan memberikan pengaruh dalam semua sektor kehidupan, karena tujuan dari pemerintahan dalam pelaksanaan pemeliharaan kesehatan adalah mencapai derajat kesehatan baik individu maupun masyarakat secara optimal. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Keberhasilan upaya kesehatan tergantung pada ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga, sarana dan prasarana dalam jumlah dan mutu yang memadai.
            Tak bisa dipungkiri bahwa setiap orang pasti menginginkan hidup sehat dan dengan berbagai upaya dan cara apabila seseorang sakit ingin cepat mengatasi keluhan atau sakitnya dengan berbagai macam obat agar dapat memulihkan keadaannya kembali. Bahkan terkadang ada juga sebagian dari kita agar tetap terlihat cantik rela mengorbankan uang untuk dapat memperoleh kecantikannya tersebut dengan menggunakan berbagai macam obat.
            Menurut Menteri Kesehatan No. 47/MenKes/SK/11/1981 obat merupakan sebuah senyawa atau campuran senyawa yang dapat digunakan untuk mempengaruhi atau mempelajari kondisi fisik atau penyakit, sehingga dapat dilakukan diagnosis, pencegahan, pengobata, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Maka dari itu obat yang dikonsumsi haruslah aman, berkhasiat dan bermutu sudah terjamin keefektifan dalam pengobatan. Obat sangat berperan penting bagi masyarakat apalagi kehalalannya sangat dibutuhkan karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, sebagai seorang muslim, ada beberapa tuntutan yang harus diikuti dalam hal etika mengkonsumsi obat. Salah satunya adalah memperhatikan status kehalalan obat tersebut. Obat yang halal merupakan segala macam obat yang diperbolehkan untuk dikonsumsi berdasarkan aturan islam dan haram merupakan segala sesuatu yang secara tegas dilarang Allah SWT untuk dilakukan atau dikonsumsi.
            Berdasarkan panduan Al-Qur’an dan sunnah, sebenarnya sangat mudah untuk menentukan kehalalan suatu obat. Obat obatan ini setidaknya harus memenuhi 3 aspek terkait,yakni:
1.      Tidak terbuat dari bahan haram (untuk obat dalam)
2.      Tidak terbuat dari bahan yang najis (obat luar dan dalam)
3.      Tidak terkontaminasi oleh bahan haram ( dalam proses produksi, penyimpanan dan distribusi).
Baru baru ini status halal dari produk produk farmasi tengah menjadi permasalahan yang muncul di negara kita karena tidak semua obat obatan memenuhi syarat untuk berstatus halal. Beberapa diantaranya menggunakan bahan bahan  yang belum  masuk kategori halal. Hal ini dimungkinkan oleh adanya perkembangan teknologi dalam proses pembuatan dan produksi obat yang semakin maju, walaupun bahan yang digunakan halal namun proses pengolahannya yang dapat membuatnya menjadi haram.
Menurut Majlis Ulama, kehalalan obat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.         Tidak boleh mengandung bahan yang berasal dari daging babi atau hewan yang tidak disembelih dengan syari’at islam. Bahan yang berasal dari tanaman, mineral dan mikroorganisme (laut dan darat) dibolehkan selama tidak beracun dan berbahaya bagi tubuh. Begitu juga dengan bahan sintetik kimia dibolehkan selama tidak toksik dan bahaya.
2.         Metode dalam pembuatan obat mulai dari tahap persiapan, proses produksi dan pengemasan harus bebas dari bahan kotor atau mengandung najis.
3.         Penggunaan obat tidak menyebabkan efek berbahaya dikemudian hari.
4.         Aspek kebersihan pada setiap komponen harus diperhatikan, termasuk kebersihan personil, pakain, peralatan dan bangunan harus bebas dari najis dan kotoran.
Namun pada era globalisasi ini dimana perdagangan obat bebas semakin luas dan cenderung mengakibatkan barang yang beredar belum tentu menjamin kehalalan bagi konsumen, terlebih lagi mengingat keadaan konsumen yang rata rata kurang bersikap hati hati dan belum mengerti sepenuhnya mengenai obat, dimana menjadikan kesempatan emas bagi apoteker nakal dalam melakukan kecurangan. Kondisi tersebut dikarenakan posisi pihak konsumen berda dipihak yang lemah dalam pengetahuan obat obatan. Dalam keadaan yang seperti ini, dapat mengakibatkan kedudukan dari konsumen dan pelaku usaha menjadi tidak seimbang. Dimana kedudukan konsumen berada dalam posisi yang lemah. Konsumen hanya menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar besarnya oleh pelaku usaha. Banyaknya produsen yang bersaing dalam meraup untung dari para konsumen, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan kecurangan untuk hal itu.
Pada prakteknya peran pemerintahan di Indonesia masih kurang dalam menegakkan undang undang kehalalan obat. Buktinya saja walaupun telah disahkannya Undang Undang No. 33 Tahun 2014, Jaminan Produk Halal tentang obat obatan, namun tetap saja dalam prakteknya masih banyak sekali kasus kasus dalam perdagangan obat obatan yang mengabaikan kehalalan.
Sebenarnya semua tanaman halal untuk dikonsumsi, kecuali tanaman yang memiliki efek samping merugikan, seperti beracun. Semua itu sangat memberikan peluang besar bagi Indonesia yang mempunyai puluhan hingga ratusan jenis tanaman yang dapat dikelola. Perlu diwaspadai seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (terutama manufaktur) membuat penilaian mengenai status kehalalan menjadi tidak mudah. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwasannya terjadinya perdagangan bebas dimana proses produksi bahan mentah dan obat terjadi pada daerah yang berjauhan, dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Hal lain yang menjadi kritis adalah pada aspek proses produksi, pengemasan, penyimpanan dan distribusi yang mampu menjamin dicegahnya kontaminasi silang bahan haram kedalam obat yang halal.
Maka dari itu peran penting bagi semua pihak untuk menjamin kehalalan obat. Industri farmasi sebagai pelaku dan penyedia obat didorong untuk melakukan sertifikasi halal pada produknya. Para akademisi dan peneliti harus terus berupaya melakukan riset untuk menemukan bahan tambahan obat dari sumber yang halal karena masih banyak sekali bahan alam Indonesia yang masih kurang optimal dalam pengolahannya dan pemerintah pun harus lebih menegaskan pihak industri akan kehalalan obat dengan mempermudah dan mendorong semua pihak agar terlibat aktif untuk mewujudkan jaminan produk halal karena masih banyak sekali industri farmasi yang enggan dalam melakukan sertifikasi halal dikarenakan sekitar 95%  bahan baku obat diimport, maka industri farmasi akan mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan sertifikasi halal BBO (Bahan Baku Obat) dari produsen atau importer dikarenakan produksi BBO dalam negeri belum bisa dilaksanakan secepatnya karena membutuhkan perencanaan yang seksama dan perlu dukungan dari industri kimia dasar yang kuat (seperti penambahan asam, basa, pereaksi dan pelarut). Selain itu biaya yang signifikan untuk sertifikasi, pemisahan fasilitas dan peralatan dalam manufakturing obat halal dan obat haram yang akhirnya akan meningkatkan harga obat.
Seharusnya pemerintah lebih ekstra memperhatikan masalah ini dan menegaskan para produsen industri farmasi akan kehalalan obat serta melakukan pengontrolan dan pemeriksaan rutin terhadap obat obatan yang belum memiliki sertifikasi kehalalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar