Telah terbukti bahwasanya kesehatan memberikan pengaruh dalam semua
sektor kehidupan, karena tujuan dari pemerintahan dalam pelaksanaan
pemeliharaan kesehatan adalah mencapai derajat kesehatan baik individu maupun
masyarakat secara optimal. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan,
jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial
dan ekonomis. Keberhasilan upaya kesehatan tergantung pada ketersediaan sumber
daya kesehatan yang berupa tenaga, sarana dan prasarana dalam jumlah dan mutu
yang memadai.
Tak bisa
dipungkiri bahwa setiap orang pasti menginginkan hidup sehat dan dengan
berbagai upaya dan cara apabila seseorang sakit ingin cepat mengatasi keluhan
atau sakitnya dengan berbagai macam obat agar dapat memulihkan keadaannya
kembali. Bahkan terkadang ada juga sebagian dari kita agar tetap terlihat
cantik rela mengorbankan uang untuk dapat memperoleh kecantikannya tersebut
dengan menggunakan berbagai macam obat.
Menurut Menteri
Kesehatan No. 47/MenKes/SK/11/1981 obat merupakan sebuah senyawa atau campuran
senyawa yang dapat digunakan untuk mempengaruhi atau mempelajari kondisi fisik
atau penyakit, sehingga dapat dilakukan diagnosis, pencegahan, pengobata, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Maka dari itu obat yang dikonsumsi
haruslah aman, berkhasiat dan bermutu sudah terjamin keefektifan dalam
pengobatan. Obat sangat berperan penting bagi masyarakat apalagi kehalalannya
sangat dibutuhkan karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim
terbanyak di dunia, sebagai seorang muslim, ada beberapa tuntutan yang harus
diikuti dalam hal etika mengkonsumsi obat. Salah satunya adalah memperhatikan
status kehalalan obat tersebut. Obat yang halal merupakan segala macam obat
yang diperbolehkan untuk dikonsumsi berdasarkan aturan islam dan haram
merupakan segala sesuatu yang secara tegas dilarang Allah SWT untuk dilakukan
atau dikonsumsi.
Berdasarkan
panduan Al-Qur’an dan sunnah, sebenarnya sangat mudah untuk menentukan
kehalalan suatu obat. Obat obatan ini setidaknya harus memenuhi 3 aspek
terkait,yakni:
1.
Tidak
terbuat dari bahan haram (untuk obat dalam)
2.
Tidak
terbuat dari bahan yang najis (obat luar dan dalam)
3.
Tidak
terkontaminasi oleh bahan haram ( dalam proses produksi, penyimpanan dan
distribusi).
Baru baru ini status halal dari produk produk farmasi tengah
menjadi permasalahan yang muncul di negara kita karena tidak semua obat obatan
memenuhi syarat untuk berstatus halal. Beberapa diantaranya menggunakan bahan
bahan yang belum masuk kategori halal. Hal ini dimungkinkan
oleh adanya perkembangan teknologi dalam proses pembuatan dan produksi obat
yang semakin maju, walaupun bahan yang digunakan halal namun proses
pengolahannya yang dapat membuatnya menjadi haram.
Menurut Majlis
Ulama, kehalalan obat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Tidak
boleh mengandung bahan yang berasal dari daging babi atau hewan yang tidak
disembelih dengan syari’at islam. Bahan yang berasal dari tanaman, mineral dan
mikroorganisme (laut dan darat) dibolehkan selama tidak beracun dan berbahaya
bagi tubuh. Begitu juga dengan bahan sintetik kimia dibolehkan selama tidak
toksik dan bahaya.
2.
Metode
dalam pembuatan obat mulai dari tahap persiapan, proses produksi dan pengemasan
harus bebas dari bahan kotor atau mengandung najis.
3.
Penggunaan
obat tidak menyebabkan efek berbahaya dikemudian hari.
4.
Aspek
kebersihan pada setiap komponen harus diperhatikan, termasuk kebersihan
personil, pakain, peralatan dan bangunan harus bebas dari najis dan kotoran.
Namun pada era globalisasi ini dimana perdagangan obat bebas
semakin luas dan cenderung mengakibatkan barang yang beredar belum tentu
menjamin kehalalan bagi konsumen, terlebih lagi mengingat keadaan konsumen yang
rata rata kurang bersikap hati hati dan belum mengerti sepenuhnya mengenai
obat, dimana menjadikan kesempatan emas bagi apoteker nakal dalam melakukan
kecurangan. Kondisi tersebut dikarenakan posisi pihak konsumen berda dipihak
yang lemah dalam pengetahuan obat obatan. Dalam keadaan yang seperti ini, dapat
mengakibatkan kedudukan dari konsumen dan pelaku usaha menjadi tidak seimbang.
Dimana kedudukan konsumen berada dalam posisi yang lemah. Konsumen hanya
menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar besarnya
oleh pelaku usaha. Banyaknya produsen yang bersaing dalam meraup untung dari
para konsumen, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan kecurangan
untuk hal itu.
Pada prakteknya peran pemerintahan di Indonesia masih kurang dalam
menegakkan undang undang kehalalan obat. Buktinya saja walaupun telah
disahkannya Undang Undang No. 33 Tahun 2014, Jaminan Produk Halal tentang obat
obatan, namun tetap saja dalam prakteknya masih banyak sekali kasus kasus dalam
perdagangan obat obatan yang mengabaikan kehalalan.
Sebenarnya semua tanaman halal untuk dikonsumsi, kecuali tanaman
yang memiliki efek samping merugikan, seperti beracun. Semua itu sangat
memberikan peluang besar bagi Indonesia yang mempunyai puluhan hingga ratusan
jenis tanaman yang dapat dikelola. Perlu diwaspadai seiring pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (terutama manufaktur) membuat
penilaian mengenai status kehalalan menjadi tidak mudah. Hal ini ditambah lagi
dengan kenyataan bahwasannya terjadinya perdagangan bebas dimana proses
produksi bahan mentah dan obat terjadi pada daerah yang berjauhan, dengan
kondisi lingkungan yang berbeda. Hal lain yang menjadi kritis adalah pada aspek
proses produksi, pengemasan, penyimpanan dan distribusi yang mampu menjamin
dicegahnya kontaminasi silang bahan haram kedalam obat yang halal.
Maka dari itu peran penting bagi semua pihak untuk menjamin
kehalalan obat. Industri farmasi sebagai pelaku dan penyedia obat didorong
untuk melakukan sertifikasi halal pada produknya. Para akademisi dan peneliti
harus terus berupaya melakukan riset untuk menemukan bahan tambahan obat dari
sumber yang halal karena masih banyak sekali bahan alam Indonesia yang masih
kurang optimal dalam pengolahannya dan pemerintah pun harus lebih menegaskan
pihak industri akan kehalalan obat dengan mempermudah dan mendorong semua pihak
agar terlibat aktif untuk mewujudkan jaminan produk halal karena masih banyak
sekali industri farmasi yang enggan dalam melakukan sertifikasi halal
dikarenakan sekitar 95% bahan baku obat
diimport, maka industri farmasi akan mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan
sertifikasi halal BBO (Bahan Baku Obat) dari produsen atau importer dikarenakan
produksi BBO dalam negeri belum bisa dilaksanakan secepatnya karena membutuhkan
perencanaan yang seksama dan perlu dukungan dari industri kimia dasar yang kuat
(seperti penambahan asam, basa, pereaksi dan pelarut). Selain itu biaya yang
signifikan untuk sertifikasi, pemisahan fasilitas dan peralatan dalam
manufakturing obat halal dan obat haram yang akhirnya akan meningkatkan harga
obat.
Seharusnya pemerintah lebih ekstra memperhatikan masalah ini dan
menegaskan para produsen industri farmasi akan kehalalan obat serta melakukan
pengontrolan dan pemeriksaan rutin terhadap obat obatan yang belum memiliki
sertifikasi kehalalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar